Sabtu, 05 November 2011

Kepemimpinan, Keputusan, dan Kejernihan Jiwa

Setiap hari kita diminta membuat keputusan. Mulai dari hal kecil, seperti belok kiri atau kanan, sampai hal besar, seperti akan menikah atau tidak, jika ya lalu dengan siapa, kita diminta untuk memutuskan. Kadang banyak hambatan seperti tak cukup waktu, tak cukup data, tak cukup pengetahuan, dan sebagainya. Namun keputusan tetap harus dibuat.

Di dalam membuat keputusan, orang perlu memperhatikan jiwanya. Aspek material seperti sumber daya uang ataupun barang tetap perlu diperhatikan. Namun yang tak kalah penting adalah perhatian pada aspek gerak jiwa, terutama gerak jiwa para pemegang keputusan. Inilah yang sekarang ini kerap terlupakan.

Mekanisme Jiwa

Syarat pertama di dalam membuat keputusan adalah kebebasan. Dalam hal ini kebebasan selalu mencakup dua hal, yakni kebebasan dari tekanan eksternal, dan kebebasan batin. Kebebasan dari tekanan eksternal cukup jelas artinya, yakni tidak adanya paksaan dari luar diri. Sementara kebebasan batin memiliki arti yang sedikit lebih rumit.

Kebebasan batin berarti bebas dari empat hal. Yang pertama adalah bebas dari keinginan untuk melihat pola pada hal-hal yang sebenarnya tak berpola. Orang cenderung menghubungkan hal-hal yang sebenarnya tak berhubungan. Akibatnya ia terjebak pada kesalahan berpikir, dan akhirnya pada kesalahan bertindak yang amat mungkin semakin memperbesar masalah.

Yang kedua adalah bebas dari keinginan untuk tunduk pada pandangan umum. Orang cenderung mendengarkan pendapat orang lain yang tak selalu memahami keseluruhan konteks dari keputusan yang perlu diambil. Pandangan orang lain dan pandangan umum seringkali membingungkan dan tak tepat. Yang diperlukan adalah kemampuan untuk sungguh berdiam diri, melakukan refleksi, lalu membuat keputusan berdasarkan pertimbangan diri dan situasi.

Yang ketiga adalah bebas dari emosi. Kemarahan dan kesedihan seringkali mendorong orang membuat keputusan terburu-buru. Masalahnya di dalam situasi marah dan sedih, pikiran tak jernih. Pikiran yang tak jernih kemungkinan besar bermuara pada keputusan yang salah.

Yang keempat adalah bebas dari prasangka. Tak jarang prasangka mengotori pandangan kita, dan membuat kita tak melihat realitas apa adanya. Prasangka bisa lahir dari pengalaman masa lalu yang kemudian di paksakan untuk saat ini. Prasangka mengaburkan pandangan dan menggiring kita pada kesalahan.

Keputusan tidak boleh hanya melibatkan aspek material semata, tetapi juga aspek spiritual. Saya tidak berbicara tentang agama, tetapi berbicara soal situasi jiwa. Keputusan yang tepat akan membawa ketenangan pada jiwa. Sementara keputusan yang salah akan membawa kegelisahan.

Di dalam latihan rohani Ignatius Loyola, yang pertama (ketenangan jiwa) disebut sebagai konsolasi. Sementara yang kedua (kegelisahan) disebut sebagai desolasi. Sekilas hal ini terlihat amat sederhana. Namun orang suka lupa menerapkannya.

Keputusan juga memerlukan komitmen. Jika keputusan sudah dibuat, maka orang punya tanggung jawab untuk menjalankannya, seberat apapun keputusan itu. Yang perlu dengan jeli diperhatikan adalah proses (material maupun spiritual) pembuatan keputusan. Jika sudah keputusan sudah jadi, jalankan, terima konsekuensi, lalu lakukan evaluasi.

Situasi Kita

Apakah para pemimpin kita di berbagai bidang sudah memperhatikan mekanisme jiwa di dalam proses pembuatan keputusan? Jawabannya jelas tidak. Banyak keputusan lahir dari rasa terpaksa, karena tekanan politik ataupun ekonomi. Akibatnya keputusan itu tidak menyelesaikan, melainkan justru memperbesar masalah.

Banyak pula keputusan lahir dari kesalahan berpikir. Hal-hal yang tak berhubungan dilihat seolah terhubung. Lalu kebijakan pun dibuat berdasarkan hubungan semu tersebut. Tak heran kebijakan itu justru melahirkan masalah-masalah baru yang sebelumnya tak ada.

Banyak pula keputusan lahir dari emosi yang tak stabil, maupun dari prasangka, baik itu prasangka etnis, ras, agama, maupun kelas ekonomi. Keputusan-keputusan yang lahir dari emosi tak stabil ataupun prasangka tak akan membawa kebaikan. Bahkan kesadaran bahwa banyak keputusan lahir dalam konteks emosi yang tak stabil dan prasangka pun belum ada. Kita berjalan menuju jurang, tanpa sadar, bahwa kita berjalan menuju jurang.

Para pemimpin juga tidak berupaya menyadari situasi jiwa, ketika mereka membuat keputusan. Proses berdiam diri dan berefleksi tak terjadi. Tidak ada kesempatan untuk melihat jiwa, merasakan ketenangan ataupun kegelisahan jiwa, yang sebenarnya amat penting di dalam membuat keputusan. Yang banyak terjadi adalah apa yang disebut Martin Heidegger sebagai gejala abad ke-20, yakni ketidakberpikiran.

Komitmen juga tak tampak. Berbagai undang-undang dan kebijakan dibuat, namun pelaksanaannya terhambat. Peraturan bertumpuk namun tak ada yang berniat memastikan penerapannya. Tanpa ada komitmen aturan dan kebijakan hanyalah kata tanpa makna.

Maka sekali lagi mekanisme jiwa adalah hal yang amat penting di dalam pembuatan keputusan. Para pemimpin dan pembuat keputusan harus menengok ke dalam dirinya sendiri, sebelum mempertimbangkan hal-hal material keputusannya. Di dalam jiwa terdapat visi jernih yang merupakan komponen esensial kepemimpinan. Di dalam jiwa terdapat nurani yang sekarang ini menjadi barang langka di Indonesia.

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala Surabaya

JIWA KEPEMIMPINAN

Seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Seseorang jika dikatakan  mempunyai jiwa pemimpin maka ia akan memiliki kebiasaan untuk mengenal karakter orang-orang di sekitarnya, pola pikir dan perilakunya, kemudian membantu orang-orang itu untuk mengembangkan dirinya, dan bisa memberi keputusan yg tepat, dan pada akhirnya orang tersebut akan bisa membentuk suatu lingkungan atau kelompok yang suatu saat bisa ia gerakkan untuk mencapai suatu tujuan.
Seorang pemimpin, akan menjadi begitu sibuk untuk memperhatikan orang lain, menyemangati orang-orang di sekelilingnya, memuji hasil kerja mereka dan membantu mereka mengoptimalkan dirinya. Maka bagi seorang pemimpin, tak punya lagi cukup waktu untuk menonjol2kan dirinya, dan tak akan membuang waktu untuk menjadikan dirinya pusat perhatian. Memang, pemimpin yang berhasil akan disayang oleh lingkungan sekitarnya, dan secara alamiah, ia akan menjadi pusat perhatian, tapi tetap, didalam dirinya, seorang pemimpin menjaga dirinya untuk tetap rendah hati.
Memang, itulah pemimpin, ia adalah problem solver, dan bukan seorang yg menyelesaikan masalahnya sendiri. Jadi, ketika kita ingin menjadi pemimpin, maka kita harus sudah siap untuk memecahkan permasalahan yang ada dalam diri kita, sebelum keluar untuk menjadi pemimpin, dan memberi contoh pada orang lain. Contohnya, saat dia sendiri, maka seorang pemimpin akan meningkatkan kemampuan dirinya, mengatasi masalahnya sendiri, dan menguatkan pondasi dirinya. Tapi saat ia berhadapan dengan orang lain, maka ia siap melayani siapa saja,memberi keputusan yg tepat, menyemangati siapa saja, memberi perhatian pada siapa saja, dan menjaga akhlak dirinya, agar menjadi teladan yang baik.